Sekolah Tinggi Ilmu
Fiqih (STIF) yang pertama kali di Indonesia, hadir di Pondok Pesantren Annawawi
di Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, Banten. Secara resmi Sekolah Tinggi Ilmu
Fiqih Syeikh Nawawi Tanara (STIF SYENTRA) yang digagas Rais Aam PBNU KH Maruf
Amin tersebut, diluncurkan di Kampus Kompleks Pesantren Annawawi Tanara di
Serang, Sabtu (4/9) lalu.
Apa dan bagaimana,
dengan ilmu fiqih sehingga Kiai Maruf mendirikan sekolah tinggi ilmu khusus
ilmu tersebut. Juga bgaimana dinamika ilmu fiqih di NU saat ini. Abdullah Alawi
dari Nahdlatul Ulama berhasil mewawancarainya di gedung
PBNU, beberapa waktu lalu. Berikut penjelasannya.
Kenapa Kiai Sekolah
Tinggi Ilmu Fiqih?
Biasanya syariah, tapi
itu terlalu luas. Makanya saya meminta izin mendirikan institut fiqih. Baru
pertama membuat naskah akademik, memproses, agak lama. Tapi alhamdulillah
kemudian lahirlah sekolah tinggi ilmu fiqih itu. Kenapa ilmu fiqih? Karena
menurut saya, fiqih itu sifatnya kan menyelesaikan masalah, solutif, baik di
bidang ekonomi, di bidang sosial budaya, politik, itu penyelesaiannya kan
fiqih. Solusinya itu fiqih. Fiqih itu, menyangkut bagaimana dengan
kaidah-kaidahnya, ushul fiqihnya, itu bisa menyelesaiaknya. Fiqih itu kan cara
berpikir menyelesaikan masalah sehingga menurut saya, kalau tafsir itu kan
sangat lebih tekstualis. Hadits lebih tekstualis.
Tapi fiqih itu sangat
kontekstual menyelesaikan masalah, menyelesaikan masalah itu tergantung
alasannya, argumennya, ilatnya, padahal masalah yang kita hadapi sekarang itu,
terutama di bidang muamalah. Kita lebih ke fiqih muamalah. Muamalah itu soal
ekonomi, sosial budaya, politik. Lebih soal-soal ekonomi, perbankan, pasar
modal. Kemudian juga berbagai sistem keuangan itu memerlukan jawaban-jawaban
bagaimana syariah itu bisa memberikan solusi-solusi.
Metode
mengkontekstulasisasi yang akan dikembangkan di Sekolah Tinggi Ilmu Fiqih
tersebut bagaimana?
Mereka akan diajarkan
fiqih kontemporer, yaitu fiqih kekinian. Kemudian juga kaidah-kaidah ushul
fiqih muamalatnya. Kemudian juga tentang berbagai keputusan-keputusan di dalam
semua aspeknya, baik soal ekonomi, soal sosial budaya dari forum-forum fiqih
dunia. Fiqih kita Indonesia, baik di majelis ulama, kemudian Dewan Syariah
Nasional tentang masalah ekonomi, maupun forum fiqih OKI, kemudian majmaul fiqh
Rabithah Alam Islami.
Jadi, kita berikan
mereka bagaimana cara-cara ijtihad yang dilakukan cara merespon berbagai
persoalan. Mereka kemudian kita ajar untuk bagaimana memecahkan persoalan
melalui kaidah-kaidah fiqh disamping yang pendapat-pendapat, tapi bagaimana
juga memberi jawaban dengan qawaid-qawaid fiqih. Kemudian juga mereka kita ajar
agar mereka pandai artikel-artikel yang menyangkut masalah-masalah, berbagai
kasus.
Kalau begitu, hal-hal
yang terjadi bisa didekati dengan fiqih?
Iya, ilmu fiqih itu
kan ilmu duniawi, ilmu untuk bisa menyelesaikan persoalan. Fiqih itu kan
ijtihadi, istinbati, bagaimana membuat ijtihad dan istinbat dari nash-nash yang
ada maupun dari pendapat-pendapat yang sudah ada.
Kurikulumnya
bagaimana?
Iya, dan terus disempurnakan.
Kita ambil contoh dari berbagai contoh, kemudian kita olah sendiri.
Angkatan pertama sudah
dimulai?
Sekitar 50.
Kenapa menggunakan
Syekh Nawawi?
Karena pesantrennya
bernama Syekh Nawawi di tempat lahirya Syekh Nawawi. Dan juga kita mengambil
tokoh keilmuannya.
Perkembangan fiqih di
Indonesia, khususnya di NU itu bagaimana?
Sebelum tahun 1990-an
di NU mandeg.
Apa faktornya?
Karena kita berpikir
tekstual pada ibarat kitab sehingga ketika ada persoalan baru, tidak mau,
mereka merasa tidak punya hak untuk menjawab persoalan itu. Maka terjadilah
tawakuf. Semua ditunda, pending. Nah, tahun1992, kita mulai melakukan
dinamisasi pemikiran, saya menyebutnya tathwirul fikrah an-nahdliyah, kita
buka, bahwa disamping pendapat-pendapat yang sudah ada, ketika tidak ada
pendapat, maka kita melakukan istinbat jamai. Ketika ada pendapat, tapi sudah
tidak relevan lagi, kita melakukan telaah ulang.
Tokoh-tokohnya
dinamisasi siapa?
Banyak. Saya waktu itu
Katib Aam. Waktu itu melakukan halaqoh-halaqoh, banyak, kiai-kiai Jawa Timur
Kiai Hasan Wafi, Kiai Wahid Zaini, Kiai Imron, kebanyakan sudah tidak ada.
Kemudian setelah itu
fiqih di NU mulai dinamis?
Mulai dinamis, tapi
terkadang juga dinamisnya kebablasan juga, mengarah ke liberalisasi sehingga
kita jaga supaya tetap on the track. Masih juga ada yang sangat tekstual.
Padahal kita sudah mengarah kepada kontekstual, dinamis, sehinga kita tidak
terus berpegang kepada pendapat-pendapat, kalau tidak ada pendapat tidak berani
mengambil membuat pendapat, sehingga kita masuk kepada Muktamar kemarin itu
mengenai manhajul istinbat. Jadi, bagaimana kita melakukan istinbat itu. Jadi,
bagaimana kita rumuskan. Kalau kita masuk, metode istinbat itu seperti apa.
Pernah mandeg juga.
Setelah kita mengadakan cara berpikir NU tidak statis, tetapi dinamis, tapi
belum ada kelanjutannya. Kemudian terjadi kemandegan tidak berani masuk.
Penyebabnya apa?
Ketika itu memang, apa
ya, belum terumuskan. Sekarang udah terumuskan. Di NU itu masih ada yang
tekstual, ada yang ibarat kitab saja. Tidak mau masuk ke wilayah ijtihadi atau
istinbati, tapi ada juga yang kebablasan. Oleh karena itu kita tetap menjaga
keseimbangan di jalur tengah. Ini perlu disosialisasi kepada dua belah pihak
supaya tidak terlalu ke kanan atau ke kiri. NU itu ya itu tengah, tawasuthiyah,
moderat, tapi dinamis. Saya menyebutnya tawashutiyan watathowuriyan,
wamanhajiyan, moderat, tidak tekstual, tidak liberal, tapi dinamis, tidak
statis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar